Senin, 08 November 2010

Murka Alam

  • Peristiwa demi peristiwa berlalu begitu saja sedih dan duka nestapa dimana-mana, Alam yang ramah kini berubah menjadi murka, menebarkan bencana dimana-mana, semua bencana adalah akibat ulah manusia, karena kita berbuat semena-mena, hutan gundul nyaris tiada sisa pertanda kerakusan manusia tiada tara Kini ribuan manusia jadi merana, tercampak, tertindas dan tersiksa, akankah alam berhenti menebar petaka, dan kita bersanding bersamanya, Letusan gunung dan tsunami dimana-mana.Adalah pertanda murka alam yang nyata masihkah kita akan terus diam dan terlena, hingga kapan bencana selalu mendera Alam dan manusia harus hidup bersama, kembali bergenggaman tangan melangkah seayun dan seirama Menghadapi masa depan yang bahagia.

Alam vs tingkah manusia

Kejadian yang bertubi-tubi seperti banjir dan longsor belakangan ini di berbagai daerah disebabkan penggundulan hutan di daerah hulu semakin merajalela. Luas lahan hutan lindung yang tinggal 18% di Jawa akan selalu mengancam terjadinya longsor dan banjir ketika hujan dengan curah hujan tinggi terjadi. Daya tampung tanah bergembur untuk menyerap air sangat terbatas. Tanah juga bersifat labil dan mudah bergeser. Dengan kemiringan topografi  yang terjal menambah faktor yang membuat daerah itu mudah longsor. Sementara itu pengelolaan lingkungan yang optimum semakin terabaikan. Padahal studi yang menyangkut aspek lingkungan sudah begitu banyaknya. Manual  petunjuk tanda-tanda akan terjadinya bahaya longsor dan banjir juga cukup banyak. Namun mengapa bencana masih juga terjadi?  
            Sebagai faktor  penyebab utama bencana itu sebenarnya  adalah ulah manusia sendiri. Tanpa sadar fungsi hutan sebagai penyangga daya serap air semakin kritis. Di sisi lain fungsi kendali  tata ruang dan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) begitu terabaikan.
Alam lalu ”murka” karena manusia melawan dan merusaknya. Lambat tetapi pasti, muncullah tragedi kemanusiaan berupa musibah banjir dan tanah longsor. Walau beribu kali program reboisasi dilakukan kalau mental manusia yang rakus tidak terubah dan diubah, tetap saja musibah itu akan menimpa dan berdatangan. Ternyata sebagian manusia  tidak mau belajar dari setiap kejadian alam. 

Aktivitas Gunung Merapi Tak Lazim

 
Perkembangan aktivitas vulkanik Gunung Merapi saat ini tidak lazim. Tanda-tanda menuju letusan tidak seperti masa menjelang puncak erupsi beberapa tahun terakhir.

Perubahan aktivitasnya sangat cepat menuju puncak kritis, tanda-tanda erupsi kali ini berbeda dengan letusan tahun 2006. Masa erupsi Merapi yang terakhir pada pertengahan 2006 antara lain ditandai dengan semburan awan panas, luncuran lava pijar, dan hujan abu secara intensif.

Kondisi Merapi saat ini semakin kritis antara lain ditandai dengan peningkatan secara mencolok aktivitas vulkanik gunung setinggi sekitar 2.965 meter dari permukaan air laut itu. Frekuensi gempa vulkanik Merapi saat ini hingga 50 kali per hari, sedangkan gempa multiphase 479 kali. Baik secara deformasi maupun seismik peningkatan aktivitasnya sangat tajam
Perkembangan aktivitas Merapi itu tanpa disertai dengan gejala yang terlihat di permukaan. Namun perkembangan itu mirip dengan sejumlah tanda menjelang erupsi Merapi pada 1997. pusat energi gempa vulkanik Merapi saat ini di kedalaman antara satu hingga tiga kilometer dari puncak Merapi. Adanya perubahan menuju pembentukan kubah lava baru sebagai akibat gerakan magma dari dalam gunung yang mendekati puncak Merapi.

Gerakan magma diperkirakan mengelompok di bagian timur laut dan barat daya dari puncak Merapi. Tapi, hingga saat ini belum bisa dipastikan arah longsoran material vulkanik dari puncak Merapi. Karenanya, perlu respons secara serius berbagai pihak antara lain masyarakat dan pemerintah daerah yang memiliki wilayah Gunung Merapi yakni Kabupaten Magelang, Klaten, Boyolali (Jateng) dan Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta). Karena ada kemungkinan erupsi tidak lazim atau di luar letusan Merapi yang normal seperti beberapa tahun terakhir

BPPTK sejak Kamis (21/10/2010) pukul 18.00 WIB menaikkan status aktivitas vulkanik Gunung Merapi dari waspada menjadi siaga. Status gunung berapi ditandai dengan aktif normal, waspada, siaga, dan awas.
Referensi dan sumber 
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK)

Sabtu, 25 September 2010

Wilayah selatan Filipina pasar senjata bagi gerakan Islam radikal.

Pasar senjata gerakan Islam radikal ada di selatan Filipina. Dari Mindanao ke Bitung.


Senjata yang digunaka Jamaah Islamiyah di Mindanao, Filipina


Di wilayah Filipina Selatan inilah para penyelundup senjata asal Indonesia berbelanja. Gampang dapatnya, harganya pun jauh lebih murah.
Pada 2001 misalnya, saat di Indonesia sedang meledak konflik Aceh, harga sepucuk AK 47 ilegal mencapai Rp40 juta. Sementara di Mindanao harganya hanya sekitar Rp5 juta.
Membawanya pun tak sulit. Birokrasi keimigrasian di negeri bertetanga dengan wilayah Sulawesi Utara ini tak begitu rumit. “Dengan rokok Indonesia, dan sejumlah uang Peso kita bisa membawa keluar senjata dari Filipina,” ujar Asep Jaja, seorang anggota Mujahidin Kompak, yang punya pengalaman membeli senjata di sana pada 2001.
Senjata itu diangkut dengan “pamboat” alias kapal laut, dan diselundupkan lewat jalur General Santos-Sangir Talaud-Bitung, Sulawesi Utara.
Asep Jaja menuturkan, jalur inilah dimanfaatkan para penyelundup senjata dari Mindanao dulu ke sejumlah wilayah konflik di Indonesia. Misalnya, konflik panas di Ambon dan Poso dulu,  membuat jalur ini begitu hidup. “Mindanao adalah surga senjata,” ujar Asep Jaja, beberapa waktu lalu. Dia sempat mencari senjata di sana untuk kebutuhan para pelaku jihad di Ambon dan Poso.
“Senjata-senjata yang kita pakai di Ambon dan Poso sebagian kita beli dari Mindanao,” ujar Asep alias Aji. Menurutnya di sana lah kelompok jihad asal Indonesia seperti Jamaah Islamiyah (JI), Mujahidin Kompak, Laskar Jundullah, Darul Islam wilayah Banten berbelanja. Bukan hanya dari kelompok putih (sebutan untuk Islam ketika konflik Ambon terjadi), kelompok merah (kelompok Kristen) pun membeli senjata dari Mindanao.
Menurutnya, kelompok merah yang juga disebutnya sebagai kelompok Nasrani ini juga membeli senjata dari Mindanao. “Saya pernah memergoki orang Ambon beragama Nasrani sedang belanja senjata-senjata dari berbagai jenis di General Santos, Filipina. Mereka memakai broker orang General Santos yang beragama Nasrani,” katanya.

Jaringan Jamaah Islamiyah berlatih di Mindanao, Filipina Selatan

Lebih murah
General Santos adalah kota paling selatan di Pulau Mindanao, di satu pulau provinsi paling selatan di Filipina. Mindanao sendiri berpenduduk sekitar 19 juta jiwa, dan 5 juta di antaranya Muslim.

Di Mindanao, berserak banyak jenis senjata. Praktik korup aparat keamanan Filipina membuat perdagangan senjata ilegal mulus. Ditambah lagi warga sipil yang membutuhkan uang, harga senjata pun jadi relatif murah. “Sepucuk M16 buatan Amerika Serikat (AS) bisa dibeli seharga 30 ribu Peso atau sekitar Rp6 juta hingga 45 ribu Peso atau sekitar Rp9 juta, tergantung kondisi senjata. Harga ini sudah termasuk bonus 8 buah magazin dan rompinya, “ ujar Asep.
Sementara untuk harga M16 buatan lokal harganya lebih rendah. Sementara itu harga M60 sekitar 60 ribu Peso atau sekitar Rp 12 juta. Itu sudah termasuk 2 buah rantai beserta pelurunya.
Lain lagi AK 47. Harganya lebih murah dibanding M16 buatan AS. Dengan uang sekitar 25 ribu Peso hingga–35 ribu Peso, atau sekitar  Rp 5 juta hingga Rp7 juta kita bisa mendapat sepucuk AK 47. “Harganya murah karena amunisinya jauh lebih mahal,” ujar Asep yang kini ditahan di Penjara Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.  Dia dihukum karena terlibat kasus penyerangan pos Brimob di Loki, Pulau Seram, Ambon, pada 2004.

Sebagai perbandingan, Asep melanjutkan, amunisi M16 seharga 8-10 Peso (sekitar 1.600 sampai Rp 2.000) perbutir sedangkan amunisi AK 47 harganya 70 Peso (atau sekitar Rp 14 ribu) per butir. Tingginya harga disebabkan tak ada perusahaan lokal memproduksi amunisi AK 47. Berbeda dengan M16. Peluru dan senjatanya juga diproduksi oleh perusahaan lokal Filipina.

Lebih jauh Asep menjelaskan, ada jalan tikus membeli senjata dari militer Filipina. Pertama, calon pembeli harus mengontak seorang broker. Imbalannya 500 Peso, atau Rp100 ribu per satu pucuk senjata. Menurutnya  kelompok Mujahidin Kompak dan Laskar Jundullah kerap membeli senjata dari pihak militer Filipina. Mereka membeli di daerah General Santos, Panimbang serta Davao. Kelompok JI itu juga membeli langsung dari masyarakat yang sedang membutuhkan uang.

Dus ikan
Asep bercerita, salah satu aktivis jihad yang piawai menyelundupkan senjata adalah Surjadi Masoed alias Umar. Menurut pengakuan aktivis Kompak, dan Laskar Jundullah yang ditangkap pada 2003 di Manado akibat kasus perampokan di Manado dan Bom Makassar pada Desember 2002 kepada polisi, dua orang JI yang ditugaskan mengumpulkan senjata adalah Usamah, anggota JI asal Indonesia yang menetap di Mindanao. Lainnya, adalah almarhum Faturrahman Al Ghozi, yang terlibat kasus Bom Kedutaan Filipina di Jakarta pada Agustus 2000.
Asep juga mengaku membantu membeli senjata bagi kelompok Darul Islam (DI) wilayah Banten pimpinan Jaja alias Akdam alias Pura Sudarma. Jaja alias Akdam ini tewas ditembak di Aceh pada Maret 2010 lalu, karena berlatih militer di hutan Jalin, Jantho, Aceh Besar.

Lantas bagaimana jalur senjata itu masuk ke Indonesia? Dalam video pengakuan Suryadi Masoed serta dari Berita Acara Pemeriksaan kasus Bom Makassar pada 2002,  dia menceritakan :

Pada Maret 2000, dia berangkat ke Filipina. Dia berangkat ke sana karena ada permintaan menjemput dua orang aktivis DI Banten. Salah satunya Iwan Darmawan alias Rois, pelaku pemboman Kedutaan Australia pada 2004. Rois saat itu berada di Filipina, dia ikut pelatihan militer. Rois dan temannya terjebak dalam peperangan di Camp Abu Bakar yang diserang oleh tentara Filipina.
Menurut Suryadi, selain menjemput kedua orang itu, dia juga ditugaskan membeli 15 pucuk senjata, masing-masing 1 pucuk AK47, 12 pucuk M16 eks Amerika, dan 2 pucuk senjata M16 buatan lokal Filipina.

Setelah mendapat senjata, pada Agustus 2000 , dia berhasil menemukan Rois dan kawannya, Abdullah. Senjata disimpan lebih dulu di Cotabato. Setelah itu mereka berangkat ke General Santos. Semua senjata dibungkus dalam dus ikan tuna.
Mereka lalu berangkat naik KM Daya Sakti dari General Santos menuju di Bitung. Dengan mudah mereka lolos dari imigrasi Filipina karena Suryadi berhasil menyogok petugas. Aparat keamanan itu diberi uang Peso. Juga rokok Indonesia yang cukup digemari di General Santos.

Di pelabuhan Bitung, Suryadi dan kawan-kawan menenteng dus berisi senjata ke luar dari kapal. Ketika menghadapi pemeriksaan imigrasi, Suryadi bilang ke petugas imigrasi dus itu berisi ikan tuna, sembari menyelipkan uang sebesar Rp3 juta kepada petugas yang memeriksa.

Suryadi dan kawan-kawan pun melewati pemeriksaan imigrasi, tanpa melalui pemeriksaan atas-atas dus senjata itu. Di Bitung, Suryadi berpisah dengan teman-temannya. Dia melanjutkan perjalanan ke Makassar, dengan membawa lima belas senjata itu menggunakan KM Lambelu.
Di Makassar senjata itu kemudian diserahkan kepada Agus Dwikarna, pimpinan Kompak Makassar sekaligus tokoh Laskar Jundullah yang kini ditahan di Filipina. Dari sinilah kemudian senjata itu didistribusikan ke Ambon dan Poso.

Menyerang istana
Belakangan, setelah Suryadi Masoed tertangkap, baik JI maupun Mujahidin Kompak mencari jalur alternatif lainnya. Di antaranya mereka sempat menggunakan jalur General Santos -Bitung-Kepulauan Sanana-Ambon. Senjata dititipkan kepada para nelayan Filipina yang biasa mencari ikan Tuna hingga ke laut di sekitar Maluku dan dijemput di Ambon. 

Suryadi Masoed sempat tertangkap. Dia dihukum delapan tahun penjara, dan baru bebas pada 2009. Namun penjara tak membuat dirinya kapok.
Abdullah Sunata, aktivis Kompak, yang terlibat kasus pelatihan terorisme di Aceh, dan Juni lalu tertangkap di Klaten, berhasil membujuk Suryadi untuk pergi ke Mindanao mengambil 21 senjata termasuk pelontar granat.
Namun rencana itu gagal, pada Mei 2010 Suryadi kembali diciduk polisi di Bekasi. Dari pengakuannya ke polisi, dia mengatakan senjata itu akan digunakan untuk menyerang Istana Negara pada 17 Agustus 2010.

Kamis, 23 September 2010

Ali Hassan Salameh

Alihassansalameh.jpg
Tempat lahir Qula Palestine
kematian Beirut Lebanon 
Kepatuhan PLO Black September
Masa kerja 1958 - 1979 
Jabatan Kepala operasi 

Ali Hassan Salameh ( Arab : علي حسن سلامة, ʿ Ali Hasan Salamah) adalah kepala operasi yang memiliki  nama kode Abu Hassan -untuk Black September, organisasi yang bertanggung jawab terhadap peristiwa pembantaian Munich, Jerman pada tahun 1972 dan sejumlah serangan lainnya. Dia juga pendiri Angkatan 17 . Ia dibunuh oleh Mossad pada Januari 1979. 





Salameh dilahirkan di kota Qula Palestina berasal dari sebuah keluarga yang sangat kaya. Ia adalah putra dari Syaikh Hassan Salameh yang tewas dalam aksi Perang Arab-Israel oleh Angkatan Pertahanan Israel pada tahun 1948 di sebelah utara Jaffa . Ia dididik di Jerman dan diperkirakan telah menerima pelatihan militer di Kairo dan Moskow.Dia sangat dikenal karena gemar memamerkan kekayaannya dan selalu dikelilingi oleh perempuan dan hobinya mengemudi mobil sport, dia  memiliki daya tarik yang sangat populer di kalangan pemuda Palestina serta memiliki julukan yang sangat populer yaitu "Pangeran Merah.". Dan ia juga dianggap sebagai arsitek atau perancang dengan apa yang dikenal sebagai peristiwa Pembantaian Munich, Jerman yang terjadi pada tahun 1972, ia diburu oleh dinas rahasia Israel Mossad . yang dikenal dengan sebutan Operasi Murka Allah. Pada tahun 1973, Mossad membunuh orang tak bersalah di kota kecil Lillehammer Norwegia, seorang pelayan berasal dari Maroko yang bernama Ahmed Bouchiki yang memiliki wajah sangat mirip Salameh, kesalahan informasi bagi agen Mossad berakibat fatal hingga mengakibatkan penangkapan oleh polisi Norwegia terhadap agen Mossad yang melakukan pembunuhan tersebut. Sebagai akibat dari kegagalan peristiwa Lillehammer dan dugaan dilindungi oleh CIA, membuat Salameh merasa sangat aman, dimana ia sebagai kepala operasi dan tidak bertindak langsung dilapangan. Setelah sekian lama hidup di berbagai belahan Timur Tengah dan Eropa, pada tahun 1978 ia menikah dengan Georgina Rizk, seorang selebriti Lebanon yang pernah meraih gelar Miss Universe pada tahun 1971. Pasangan ini menghabiskan bulan madu mereka di Hawaii dan kemudian tinggal di Disneyland, California. Dan ketika Rizk hamil, ia kembali ke apartemennya di Beirut, Lebanon di mana Salameh juga menyewa sebuah apartemen berbeda ditempat yang terpisah. Menurut beberapa sumber, Salameh menjabat sebagai kontak rahasia antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Central Intelligence Agency (CIA) dari tahun 1970 hingga kematiannya, yang telah memiliki kesepakatan serta menjamin untuk tidak membunuh warga AS sebagai bagian dari pertukaran politik dan sebagai imbalannya dia mendapatkan dukungan finansial dari CIA.  Namun, ketika ditanya oleh Israel, hubungan itu disangkal oleh pejabat AS. Dia hanya  membantu melindungi warga negara AS yang berada di Beirut, dan peran pentingnya adalah memfasilitasi kontak antara Palestina dan AS, dengan harapan memperoleh dukungan AS bagi Palestina . 

Kematian  
Erika Chambers adalah seorang warga negara Inggris yang diyakini sebagai agen Mossad, dimana ia ikut berperan dalam mengambil bagian misi pembunuhan terhadap Salameh. Dia pergi ke Timur Tengah dengan misi dukungan amal terhadap Pengungsi Palestina dan mengatur untuk bisa melacak keberadaan Salameh di Beirut, yang berada dalam perlindungan pemerintah Lebanon. Chambers mempelajari semua kegiatan rutinitas Salameh. Pada tanggal 22 Januari 1979, konvoi dua kendaraan Chevrolet station wagon dipimpin oleh Salameh menuju flat milik Rizk untuk menghadiri pesta ulang tahun ibunya. Chambers mengawasi konvoi tersebut dari atas balkon apartemen berseberangan yang disewanya dimana ia telah melekatkan 100 kg bahan peledak pada sebuah mobil Volkswagen warna merah miliknya yang diparkir di jalan Rue Verdun . Iring-iringan konvoi dua kendaraan Salameh melewati mobil Volkswagen milik Chambers tepat pada pukul 15:35 dan berbelok ke arah Rue Madame Curie, dan tak dapat dihindari lagi, 100 kg bahan peledak yang telah dilekatkan pada mobil Volkswagen tersebut diledakkan oleh sesama agen Mossad yang mengawasi iring-iringan konvoi kendaraan dari jauh. akibat peledakan tersebut Salameh masih sadarkan diri, tetapi ia terluka sangat parah dan kesakitan yang amat sangat, disebabkan potongan pecahan peluru baja dari ledakan tersebut berhambur dan tertanam di kepalanya hingga seluruh tubuhnya. Dia segera dilarikan ke American University Hospital, di mana ia akhirnya meninggal di meja operasi tepat pada pukul 04:03. Operasi peledakan juga menewaskan empat orang pengawalnya serta menewaskan empat orang warga lainnya yang berada disekitar kejadian. Segera setelah operasi selesai tiga orang perwira Mossad segera menghilang dan lolos tanpa jejak, diyakini 14 orang agen Mossad turut terlibat dalam operasi pembunuhan Ali Hssan Salameh.  

Rabu, 22 September 2010

Black September

Tahun 1970 orang-orang Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang mengungsi di Yordania dianggap telah membuat “negara dalam negara” di Yordania. Raja Husein khawatir para tamunya yang semakin kuat itu dapat mengancam posisinya. Akibatnya Raja Husein takut akan para pejuang Palestina yang sewaktu-waktu dapat menggulingkan pemerintahannya, maka konflik antara PLO dengan Yordania tidak terelakkan dalam bulan Agustus dan September. Dan 16 September 1970 Raja Husein mendeklarasikan hukum bela diri (Darurat Militer) sebagai respon atas serangan para fedayeen yang ingin mengambil alih Kerajaannya. Sehari kemudian tank-tank Yordania dari brigade ke-60 menyerang Markas besar PLO di Amman tentaranya juga menggempur camp di Irbid, Salt, Sweileh dan Zarqa. Selama pertempuran sepuluh bulan tersebut pasukan Suriah turun tangan membantu Palestina dengan mengerahkan satu divisi tank. pejuang Palestina dihajar habis-habisan oleh tentara Yordania dan pada akhirnya pasukan Yordania dapat mengalahkan pasukan PLO hingga mengakibatkan tewasnya 15 ribu pejuang dan penduduk Palestina. Dan Pertempuran berakhir pada Juli 1971 dengan terusirnya PLO- dari Yordania ke Libanon. Peristiwa itulah yang dikenang orang Palestina dengan sebutan “September Hitam” simbol dari teraniayanya mereka di Yordania. Akibat peristiwa ini Organisasi pimpinan Yaser Arafat ini serta ribuan pejuangnya harus hengkang dari Yordania dan pindah ke Libanon.

Pada tahun 1971 setelah hengkang dari Yordania para fedayeen pejuang Palestina dari sel kecil kelompok faksi Al-Fatah mendirikan organisasi Black September sesuai dengan nama tragedi yang baru saja menimpa mereka di Yordania. Kelompok ini mendadak mencuat namanya ketika melahirkan konflik berkepanjangan dengan melakukan serangkaian aksi teror di dunia, diantaranya penculikan disertai pembunuhan terhadap atlet Israel di Olimpiade musim panas tahun 1972 di Munich, Jerman. Yang dikenal dengan insiden Munich

Insiden Munich (Munich Massacre)

Pada tanggal 4 september 1972, kelompok radikal Black September melancarkan aksi teror bersandi operasi Berim Ikrit. Sasarannya perkampungan atlet Israel peserta Olimpiade Munich. Asrama atlet Israel itu bersebelahan dengan asrama atlet Hong Kong dan Uruguay . Asrama itu terletak dekat bandara Furstenfeldburch. Perkampungan Olimpiade , Apartemen Connolystrasse, Blok 31 Munchen. Penculikan atas sebelas atlet Israel ini dilangsungkan saat kesemuanya usai bersuka ria menikmati suatu malam pada 4 September 1972 di tempat peristirahatan mereka. Pukul 04.30 dini hari ketika para olahragawan ini tengah tertidur lelap, Jam 4.00 pagi, 8 anggota Black September memanjat pagar setinggi 1.8 meter di Kusoczinskidamm , hanya 500 meter dari asrama atlet Israel. anggota Black September masuk ke perkampungan atlet Israel dengan bantuan dari atlet Amerika.

Adalah pegulat Israel Yossef Gutfreund yang awalnya mendengar bunyi mencurigakan di apartemennya ketika ia memeriksanya ia mendapati pintu apartemennya berusaha dibuka sebelum akhirnya ia mulai berteriak memerintahkan teman-temannya yang lain untuk menyelamatkan diri mereka seraya mendorong tubuh kekarnya menahan laju pintu dari tekanan para anggota Black September. Dua orang atlet Israel berhasil meloloskan diri, sementara delapan lainnya memilih untuk bersembunyi. Seorang atlet angkat berat, Yossef Romano berusaha merebut senjata sang penyelusup, tragisnya ia lalu tertembak dan tewas seketika layaknya nasib Mosche Weinberg, pelatih gulat yang juga tewas saat hendak menyerang anggota penyelusup lainnya dengan pisau buah. Setelah menawan sembilan atlet Israel pihak Black September menuntut dibebaskannya 234 tawanan Palestina dari penjara Israel dan dua pemimpin kelompok kiri Baader-Meinhoff dari penjara Jerman Barat dan rute aman menuju Mesir, namun untuk pembebasan tahanan Palestina, pemerintah Israel menolak mentah-mentah permintaan itu kecuali untuk rute aman tujuan Kairo yang disanggupi pihak Jerman. Menteri Bavaria yang juga pengurus Perkampungan Olimpiade menawarkan diri sebagai ganti tetapi tawaran ditolak. Kanselir Jerman Barat Willy Brandt menghubungi Perdana Menteri Israel Golda Meir melalui telepon .Israel enggan memenuhi tuntutan tersebut. Jerman sendiri bersedia membebaskan pemimpin Baader-Meinhof, Ulrike Meinhof dan Andreas Baader.

Akhirnya 8 anggota Black September dan 8 tawanan di bawa dengan bus Volkswagen ke Bandara Furstenfeldbruck menuju Jet 727 yang menunggu. pemerintah Jerman hendak menjebak komplotan tersebut di Bandara Furstenfeldbruck. Di bandara inilah komplotan tersebut minta disiapkan sebuah pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Kairo, Mesir. Jet gadungan pun disiapkan dengan 5-6 personil polisi yang disamarkan sebagai kru pesawat dan dengan mengerahkan penembak jitu, pihak Jerman mengetahui sekiranya ada delapan orang penyandera yang tidak menggunakan pengaman senjata apapun. Sampai sejauh ini semuanya lancar hingga helikopter lepas landas membawa para penyandera beserta tawanannya. Namun, upaya pembebasan menjadi kacau. Malapetaka bermula ketika dua petugas kepolisian mulai bertindak gegabah dan memicu serangkaian insiden penembakan antara pihak kepolisian Jerman Barat termasuk para penembak jitu dengan para penyandera yang berujung atas kematian tragis bagi kedua belah pihak hingga melibatkan para atlet yang disandera. Drama penyanderaan 21 jam itu berakhir dengan peledakan helikopter hingga mengkibatkan kematian semua sandera. Dan penembakan atas Jamal AlGasshey. Sebelas atlet Israel, tiga anggota Black September dan seorang polisi Jerman Barat tewas. Kesebelas atlet Israel yang tewas itu adalah :

Yosses Gutfreud (atlet gulat)
Mosche Weinberg (pelatih gulat)
Yossef Romano (atlet angkat berat)
David Mark Berger
Mark Slavin
Jacov Springer (wasit angkat besi)
Andre Spitzer (pemain anggar)
Kehat Shorr
Elieszer Halfin
Amitzur Shapira
Zeev Friedman.
Tragedi berdarah ini meninggalkan luka bagi banyak pihak. Tak seorangpun sandera berhasil diselamatkan. Hanya dua atlet Israel yang berhasil melarikan diri saat penyanderaan, mereka adalah: 1. Tuvia Sokolovsky - atlet angkat berat, dan 2. Gad Zobari.

Aksi Black September Lainnya

Aksi teror lainnya dari Black September selain insiden Munich antara lain:
• 28 November 1971, empat anggotanya melakukan penembakan atas perdana menteri Yordania, Wasfi Al-Tal.
• Desember 1971, Penyerangan terhadap Zeid Al Rifei Duta Besar Yordania yang bertugas di London.
• Februari 1972, penyabotasean atas instalasi listrik Jerman serta lahan gas di Belanda.
• Mei 1972, Pembajakan penerbangan Belgia, Sabena 572 yang bertolak dari Viena menuju Lod.
• 10 September 1972, kelompok ini membajak sebuah pesawat Boeing 707 Lufthansa rute Ankara-Beirut untuk dibarter dengan anggotanya yang tertangkap dalam insiden Olimpiade. Walau diprotes Israel, pemerintah Jerman Barat tak punya pilihan lain demi keselamatan seisi pesawat.
• 22 Januari 1973 Black September melakukan pembalasan atas terbunuhnya para pemimpin mereka dengan melibas pentolan Mossad di Madrid. Baruch Cohen. Selain itu juga juga berupaya meledakkan rumah dubes Israel dan membajak pesawat El Al yang tengah transit Siprus
• 1 Maret 1973, serangan pada kantor kedutaan Arab Saudi di Khartoum yang menewaskan dua perwakilan kedubes Amerika dan seorang pejabat berwenang Belgia.
• 9 April 1973, tiga anggota Black September berupaya membajak pesawat terbang Arkia milik Israel di bandara Nikosia. Aksi ini digagalkan satpam pesawat. Dua anggota Black September dan seorang polisi Siprus tewas dalam kontak senjata. Selang beberapa jam, rumah dubes Israel di Nikosia diledakkan meski kosong

Pembalasan Israel

Peristiwa itu mengundang murka Israel. Sebanyak 75 serangan udara dikerahkan untuk membombardir target di Lebanon dan Suriah, setidaknya menewaskan 66 orang dan membuat ratusan lainnya luka-luka. Karena serangan udara armada F-4 Phantom AU Israel terhadap kamp-kamp pelatihan Black September dinilai kurang berhasil, Mabes Angkatan Bersenjata Israel (Zahal) membentuk tim khusus beranggotakan personel terbaik Mossad dan A’man (intelijen militer). Perdana Menteri Israel Golda Meir mengetuai komite rahasia yang dinamakan Committee X untuk menyusun upaya pembalasan dengan membunuh semua dalang peristiwa Munich. Kemudian badan intelijen Israel Mossad mengaktifkan unit pembunuh mereka, Kidon (bayonet), untuk melacak nama-nama siapa saja yang terlibat dalam organisasi ini. Dalam operasi yang bernama Wroth of God (Kemurkaan Tuhan) ini para Kidon telah berhasil membunuh 10 dari 11 orang yang diduga bertanggung jawab atas tragedi itu. Mossad telah mengatur tindakan balasan. Daftar nama orang Palestina terutama di peringkat antara bangsa diedarkan dan mesti dibunuh. mereka mengeluarkan 11 nama pemimpin Black September yang menjadi target bunuh, mereka adalah:
1. Wael Adel Zwaiter - Saudara sepupu Yasser Arafat ditembak mati di lobi apartemen di Roma, Italia pada Oktober 1972.
2. Dr Mahmoud Hanshari - Wakil PLO. Penyelaras pembunuhan di Munchen , Jerman. Beliau ditembak di Paris, Perancis pada November 1972. Beliau luka parah karena ledakan bom yang dipasang pada teleponnya.
3. Hussein Abad al Chier - Penghubung antara PLO dengan KGB di Cyprus. Beliau tewas akibat ledakan bom di hotelnya di Nikosia, Cyprus.
4. Dr Basil Al Khubaisi - pengatur logistik dan senjata untuk Front Nasional Pembebasan Palestina. Tewas ditembak di sebuah jalan di Paris pada April 1973.
5. Kamal Nasser - Jurubicara PLO. Tidak merahasiakan hubungannnya dengan pelaku. Kamal Nasseer, Muhammed Yusuf el Najer dan Kemal Adwan dibunuh di apartemennya di kawasan mewah Ramlat el Bida, Beirut. oleh serbuan pasukan komando Israel pada april 1973.
6. Muhammed Yusuf el Najer - dikenali sebagai Abu Yussuf. Salah seorang pemimpin gerakan al Fatah.
7. Kemal Adwan - Melakukan sabotase di wilayah Israel atas nama al Fatah. 8. Zaid Muchassi tewas akibat ledakan bom di hotelnya di Athena, Yunani pada April 1973. Temannya yang juga seorang agen KGB tertembak di luar hotel.
9. Mohammed Boudia - playboy tampan , mempunyai hubungan dengan beberapa pemimpin PLO di Eropa. Tewas karena mobilnya di pasangi bom di Paris pada Juli 1973.
10. Ali Hassan Salameh – sang pangeran merah dipercaya sebagi dalang, perancang pembunuhan di Olimpiade Munich 1972. tewas dalam peledakan bom mobil di Beirut, Lebanon pada 22 Januari 1979.
11. Muhammad Daoud atau Abu Daoud - Pakar peledak. Perancang peristiwa di Munich satu-satunya target bunuh oleh Israel yang selamat dan masih hidup.
Selain membunuh para pemimpin Black September Mossad juga membunuh orang-orang yang mungkin mempunyai hubungan dengan Black September : 1. Januari 1974 Tiga pemuda Arab bersenjata tak dikenali ditembak mati di sebuah gereja dekat Glarus , Swiss.
2. Agustus 1974 seorang wanita bernama 'Jeannette' ditembak mati di rumah kapalnya dekat kota Hoorn , Belanda.
3. September 1974 Seorang pemuda Arab bersenjata ditembak mati di sebuah kebun di Tarifa, Spanyol.

Serbuan Mossad dan Pasukan Komando Israel

Selain membunuh orang-orang yang terlibat dengan Black September, Israel juga menggelar operasi rahasia di Libanon dengan sasaran di 4 lokasi berbeda yaitu markas kelompok DFLP dan kompleks pelatihan Al Fatah di Sidon, pabrik senjata dan amunisi PLO di Al Qusay (kawasan Sabra) dan sasaran utama kompleks kediaman para pentolan Black September di kawasan mewah Ramlat El Bida. Dalam operasi yang bersandi Mivtza Aviv Ne’urim alias Operasi awal musim semi ini anggota Mossad dan pasukan komando Israel berhasil membunuh 3 pentolan Black September yaitu Muhammed Yusuf el Najer alias Abu Yusuf beserta istrinya, Kemal Nasser dan Kemal Adwan. Pentolan Black September lainnya, Muhammed Boudia dan Ali Hassan Salameh lolos dari maut karena sedang pergi ke Suriah. Juga menghancurkan markas DFLP, gedung berlantai tujuh itu diledakkan setelah seluruh dokumennya dikuras. Dalam serbuan selama 30 menit tersebut tercatat sedikitnya 200 orang gerilyawan Palestina tewas, selain ratusan ton senjata berhasil dihancurkan. Selain tentu saja ribuan lembar dokumen penting yang segera menjadi santapan pihak intelijen Israel dan Barat.

Selasa, 21 September 2010

The Troubles, ketika Irlandia Utara Membara


Another head hangs lowly
Child is slowly taken
And the violence caused such silence
Who are we mistaken?


Itu adalah petikan dari lirik lagu The Cranberries yg berjudul “Zombie”,  lagu ini berkisah tentang masalah kemanusiaan di Irlandia Utara yg juga dikenal sebagai “The Troubles”.

The Troubles adalah suatu periode koflik etnis yg terjadi di Irlandia Utara sejak tahun 1969 & dianggap secara resmi sudah berakhir sejak tahun 1998 – walaupun konflik-konflik dalam skala jauh lebih kecil masih berlangsung hingga sekarang. Konflik pada The Troubles melibatkan kaum loyalis & unionis (umumnya Protestan) yg pro bersatu dengan Inggris melawan kaum nasionalis & republikan (umumnya Katolik) yg pro bersatu dengan Irlandia di mana selama periode konflik itu, tentara Inggris & Irlandia juga terlibat. Tercatat antara tahun 1969 hingga 2001, jumlah korban tewas dalam The Troubles mencapai 3500 lebih.
Akar dari The Troubles bisa ditelusuri sejak kedatangan kaum imigran Inggris Protestan pada awal abad ke-17 di tanah Irlandia untuk menetap di sana pasca invasi bangsa Normandia ke tanah Irlandia (dikenal juga sebagai “plantation of Ulster”). Kedatangan mereka mendesak keberadaan penduduk asli Katolik Irlandia sehingga muncul konflik antara kedua komunitas tersebut. Perang tersebut mayoritasnya dimenangi oleh kaum Protestan sehingga memberi mereka dominasi kekuasaan di Pulau Irlandia sekaligus menciptakan diskriminasi atas penduduk asli setempat.
Seiring waktu, terutama sejak Inggris menjadikan Irlandia sebagai bagian dari wilayahnya sejak awal abad ke-19, muncullah 2 kelompok besar di Irlandia : kelompok loyalis & unionis (mayoritasnya Protestan) yg dekat dengan Inggris serta golongan nasionalis (mayoritasnya Katolik) yg menginginkan restorasi parlemen yg berkuasa di Irlandia agar kaum Katolik Irlandia bisa mendapatkan kesetaraan dengan kaum Protestan.

Proses Kemerdekaan Irlandia & Terbentuknya Irlandia Utara
Permulaan abad ke-20, terjadi gejolak dalam tubuh Partai Parlementer Irlandia (Irish Parliamentary Party) yg memegang peranan penting dalam aktivitas politik internal Irlandia & berhaluan loyalis-unionis sehingga memberi keleluasaan bagi kaum nasionalis & republik untuk segera mengupayakan restorasi parlemen Irlandia. Peristiwa tersebut membawa ketakutan bagi kaum unionis & loyalis yg mayoritasnya adalah Protestan. Mereka khawatir jika restorasi parlemen itu benar-benar terwujud, nasib mereka sebagai kaum minoritas di pulau tersebut bakal terancam. Tahun 1912, kaum unionis & loyalis akhirnya mendirikan angkatan bersenjata bernama Ulster Volunteers. Tak lama kemudian, kaum nasionalis & republik mendirikan angkatan bersenjata bernama Irish Volunteers dengan tujuan mengimbangi aktivitas Ulster Volunteers.

Tahun 1916 terjadi salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Irlandia. Seorang simpatisan nasionalis republik menyandera kantor pos (General Post Office) di kota Dublin, lalu mengibarkan bendera hijau yg menyimbolkan “Republik Irlandia” sambil memproklamasikan kemerdekaan Irlandia. Peristiwa yg juga dikenal sebagai “Easter Rising” tersebut pada awalnya tidak dipedulikan oleh mayoritas rakyat Irlandia, namun semuanya berubah ketika ke-16 orang yg dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut dieksekusi 2 tahun sesudahnya oleh pihak Inggris. Tindakan eksekusi tersebut – diikuti dengan aksi mogok tentara asal Irlandia yg berada dalam angkatan perang Inggris – menimbulkan aksi perlawanan dari rakyat Irlandia yg dimotori oleh angkatan bersenjata Irish Republican Army (IRA) yg merupakan hasil reorganisasi dari angkatan bersenjata Irish Volunteers.
Memanfaatkan opini mayoritas publik Irlandia saat itu yg menolak keberadaan Inggris di Pulau Irlandia, partai Sinn Fein yg berhaluan nasionalis republik berhasil meraih suara dominan di banyak wilayah di Irlandia dalam pemilu pada tahun 1918, namun hanya meraih sedikit suara di wilayah utara Irlandia atau Ulster. Keberhasilan Sinn Fein meraih banyak suara di Irlandia itu memberi mereka dominasi dalam parlemen Irlandia sehingga memberi mereka keleluasaan untuk membentuk parlemen sendiri (Dail) & melakukan negosiasi dengan Kerajaan Inggris untuk menentukan nasib Irlandia selanjutnya.
Tahun 1920, melalui Traktat Anglo-Inggris (Anglo-Irish Treaty) yg disepakati dengan parlemen Irlandia, Kerajaan Inggris akhirnya memberi kemerdekaan pada mayoritas wilayah Irlandia sebagai negara merdeka berstatus dominion hingga merdeka penuh sebagai repubik usai Perang Dunia II, namun tetap memasukkan wilayah Irlandia Utara (Ulster) sebagai bagian dari kerajaannya. Inggris beralasan kebijakan itu sudah disepakati dalam traktat yg intinya menyatakan bahwa dalam pemilu yg dilakukan, mayoritas rakyat di sejumlah wilayah Irlandia Utara memilih tetap bergabung dengan Inggris.
Keputusan Inggris tersebut disambut baik kaum loyalis & unionis, namun ditolak oleh kaum nasionalis & republik yg menyatakan bahwa keputusan tersebut menentang keinginan mayoritas rakyat Irlandia keseluruhan. Sedikit info, kaum unionis, loyalis, & Protestan merupakan mayoritas di wilayah Irlandia Utara, namun merupakan minoritas di wilayah Pulau Irlandia keseluruhan. Kebijakan tersebut lalu menimbulkan friksi dalam tubuh IRA sehingga terjadilah perang sipil Irlandia antara kelompok IRA yg pro-traktat dengan kelompok IRA yg anti-traktat & menghendaki Irlandia bersatu. Perang yg dikenal sebagai Perang Sipil Irlandia itu berakhir dengan kemenangan IRA pro-traktat yg saat itu juga dibantu Inggris.

Pasukan IRA yang sedang berlatih.
Meskipun kalah, kelompok IRA yg anti-traktat – belakangan hanya dikenal dengan nama IRA setelah IRA yg pro-traktat bergabung dengan tentara nasional Irlandia – tetap menjalankan aksi-aksi bersenjatanya yg mencakup peledakan bom, penyerangan, & sabotase di sejumlah wilayah di Inggris & Irlandia. Sebagai respon atas tindakan IRA yg merajarela tersebut, pemerintah Irlandia mengeluarkan wewenang bagi kepolisian untuk menangkap mereka yg dianggap terlibat dengan IRA tanpa harus melalui proses peradilan. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi & tekanan bagi kaum Katolik di Irlandia Utara sehingga menjelang dekade 1960-an, IRA memutuskan untuk menghentikan aktivitas bersenjatanya.
Sebagai bagian dari Kerajaan Inggris, Irlandia Utara memiliki hak istimewa untuk mendirikan parlemen sendiri. Di dalam pemerintahannya, Irlandia Utara menerapkan kebijakan yg cenderung mengistimewakan kaum mayoritas Protestan & mengesampingkan kaum Katolik dalam berbagai bidang kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, & hak suara dalam pemilu (gerrymandering). Konflik & intimidasi juga terjadi di daerah-daerah yg didominasi oleh kaum agama tertentu sehingga sejak tahun 1930-an, terjadi migrasi berlatar belakang sektarian antar wilayah di Irlandia Utara yg mengakibatkan masyarakat Irlandia Utara terpolar menjadi wilayah timur yg didominasi kaum Protestan (berpusat di Belfast) & wilayah barat yg didominasi oleh kaum Katolik (berpusat di Derry).

Permulaan The Troubles (Akhir Dekade 60-an)
The Troubles dianggap bermula pada dekade 1960-an di mana pada tahun 1966, sekelompok besar simpatisan republik melakukan pawai di Belfast memperingati momen 50 tahun pasca Easter Rising. Di tahun yg sama juga terjadi ledakan bom di Belfast yg dilakukan oleh mantan anggoata IRA. Sementara sejak awal dekade 60-an, sekelompok orang dari kaum Katolik yg menyebut diri mereka Northern Ireland Civil Rights Association (NICRA) melakukan protes atas sejumlah kebijakan yg dianggap diskriminatif & memojokkan kaum Katolik. Protes mereka mulai menemukan titik terang ketika Terrence O’Neill, perdana menteri Irlandia Utara waktu itu, mengatakan bahwa ia akan mendengarkan protes mereka & menjanjikan akan ada perubahan. Hal tersebut mengundang ketakutan dari kaum unionis & loyalis – yg didominasi Protestan – yg khawatir bahwa mereka akan kehilangan dominasi di Irlandia Utara.
Pertengahan tahun 1966, sekelompok simpatisan dari kaum unionis & loyalis mendirikan suatu kelompok paramiliter bernama Ulster Volunteer Force (UVF). Di awal berdirinya, kelompok tersebut langsung menyatakan perang terhadap IRA & menyatakan pula akan langsung mengeksekusi orang-orang yg dianggap sebagai simpatisan IRA. Beberapa aksi mereka adalah menyerang sebuah pub milik kaum Katolik di Belfast pada tahun 1966, membunuh seorang warga Katolik di wilayah lain Belfast pada tahun yg sama, serta meledakkan instalasi listrik & air bersih di beberapa titik di Irlandia Utara pada tahun 1969. Akibat aksi-aksi mereka, pemerintah Irlandia Utara menyatakan UVF sebagai gerakan ilegal & menangkap pemimpinnya, namun faktanya UVF tetap melancarkan aksinya walau secara sembunyi-sembunyi.
Tahun 1969, terjadi kerusuhan besar yg dikenal sebagai Pertempuran Bogside (Battle of the Bogside) antara penduduk lokal Derry dengan polisi keamanan RUC (Royal Ulster Constabulary) di area Bogside, kota Derry. Konflik bermula ketika pada tanggal 12 Agustus, iring-iringan Apprentice Boys – yg memperingati kemenangan kaum Protestan dalam penaklukkan Derry pada abad ke-17 – terlibat aksi saling lempar batu dengan sejumlah penduduk lokal ketika iring-iringan tersebut mendekati Kota Derry yg didominasi kaum Katolik.
RUC yg ditugaskan menjaga parade berhasil memaksa penduduk lokal yg terlibat kerusuhan kembali masuk ke Kota Derry. Namun ketika RUC berusaha merengsek lebih jauh ke dalam kota, mereka langsung dihujani lemparan batu & bom molotov oleh penduduk Derry. RUC lantas membalasnya dengan melepaskan gas air mata ke dalam kota sehingga sejumlah penduduk menderita gangguan pernapasan. Tak ada korban jiwa dalam “pertempuran” yg berlangsung hingga tanggal 14 Agustus tersebut, namun korban terluka diperkirakan mencapai ribuan orang.
Jika ditelusuri hingga beberapa bulan sebelumnya, Pertempuran Bogside bisa dikatakan merupakan puncak kekesalan warga Katolik & nasionalis terhadap kinerja polisi RUC – yg dianggap sebagai perpanjangan tangan kaum loyalis karena anggotanya didominasi Protestan. Awal tahun 1969 misalnya, terjadi kerusuhan antara warga Derry dengan RUC setelah parade People’s Democracy yg berhaluan nasionalis diserang oleh massa loyalis di perjalanan menuju Derry, sementara RUC yg ditugaskan dianggap tidak berusaha melindungi parade. Malam harinya, RUC mendobrak pintu rumah-rumah warga Derry yg dianggap terlibat dalam kerusuhan itu & memukuli mereka. Bulan April 1969, seorang warga Derry bernama Sammy Devenny dipukuli hingga tewas oleh RUC di rumahnya sendiri usai kerusuhan yg terjadi di Derry pada bulan yg sama. Peristiwa-peristiwa tersebut akhirnya memunculkan kebencian dari warga Derry yg berpuncak pada Pertempuran Bogside.
Sebagai aksi protes terhadap RUC yg dianggap bertindak semena-mena dalam Pertempuran Bogside, pada tanggal 13 Agustus 1969 sekelompok orang yg terdiri dari kaum Katolik & nasionalis melakukan demonstrasi di kota Belfast. Namun entah kenapa, demonstrasi yg semula direncanakan berjalan damai tersebut berubah menjadi anarkis ketika para demonstran menyerang properti milik RUC & kaum Protestan. Malam harinya, kaum loyalis & Protestan melakukan aksi balasan berupa perusakan & pembakaran rumah-rumah komunitas Katolik di Belfast sehingga ribuan warga Katolik di Belfast kehilangan tempat tinggal. Belfast lalu berubah menjadi medan perang yg mencekam ketika terjadi saling serang & baku tembak di antara komunitas Katolik-nasionalis, Protestan-loyalis, serta polisi keamanan RUC. Tercatat 7 orang tewas & ribuan lainnya luka-luka dalam kerusuhan besar yg berlangsung hingga 17 Agustus tersebut. Kerusuhan dalam skala lebih kecil juga terjadi di kota-kota selain Belfast.
Merasa tidak bisa mengendalikan keadaan, pemerintah Irlandia Utara akhirnya meminta penerjunan tentara Inggris di sejumlah wilayah konflik di Irlandia Utara untuk memulihkan kondisi di Irlandia Utara & mencegah konflik sektarian lebih jauh. Kebijakan penempatan tentara Inggris di Irlandia Utara tersebut juga dikenal sebagai “Operasi Banner”. Di awal kedatangannya, tentara Inggris disambut dengan hangat oleh komunitas Katolik yg memang sudah muak dengan aktivitas polisi RUC yg dianggap tidak serius mencegah konflik sektarian sambil berharap tentara Inggris bisa bertindak sebagai pihak netral dalam menengahi konflik & melindungi mereka dari serangan-serangan yg dilakukan kelompok loyalis & Protestan.
Sejumlah pihak dari kubu Katolik & nasionalis menuding IRA gagal melaksanakan tugasnya untuk melindungi komunitas Katolik yg ada di Belfast. IRA sendiri beralasan mereka berusaha menghindari baku tembak di wilayah padat penduduk untuk mencegah terjadinya konflik sektarian lebih jauh. Kebijakan IRA tersebut menimbulkan perpecahan internal sehingga sejak akhir tahun 1969, IRA terpecah menjadi 2 : Provisional IRA (PIRA) yg berhaluan nasionalis republik & Official IRA (OIRA) yg berhaluan sosialis.

Anggota PIRA yang sedang berpatroli
Baik OIRA maupun PIRA memiliki tujuan yg sama : menyatukan Irlandia menjadi satu negara, namun dengan cara yg agak berbeda. OIRA berusaha menghindari kontak senjata di wilayah padat penduduk dengan harapan bisa menyatukan komunitas Katolik & Protestan, sementara PIRA tidak segan-segan melakukan aksi bersenjata di wilayah padat penduduk – termasuk aksi pengeboman – dengan tujuan membuat korban dari pihak musuh sebanyak mungkin hingga Inggris setuju untuk pergi dari Irlandia Utara.
Terpecahnya IRA yg diikuti dengan berdirinya PIRA yg menyatakan tidak segan-segan melakukan aksi bersenjata terhadap kaum loyalis memunculkan ketakutan baru bagi kaum loyalis & Protestan. Maka pada tahun 1971, kaum loyalis kembali membentuk organisasi paramiliter baru bernama Ulster Defence Association (UDA) yg bertujuan untuk melindungi keberadaan kaum loyalis-Protestan & mengimbangi aktivitas PIRA di mana mereka menyatakan baru akan berhenti beraksi bila PIRA juga menghentikan aksinya. Terpecahnya IRA & kemunculan UDA – beserta UVF beberapa tahun sebelumnya – menandai periode baru dalam The Troubles di mana konflik yg semula hanya sebatas kerusuhan sipil berubah menjadi perang bersenjata…

Dekade 1970-an
Awal hingga pertengahan dekade 1970-an merupakan salah satu era paling berdarah dalam perkembangan The Troubles karena di masa ini, IRA – terutama PIRA – sedang giat-giatnya melakukan aksi bersenjata yg ditujukan terhadap tentara Inggris & kaum loyalis. Tanggal 25 Mei 1971 misalnya, PIRA meledakkan bom waktu di markas tentara Inggris di Belfast yg menewaskan seorang sersan Inggris & melukai 2 tentara Inggris, 1 polisi RUC, serta 18 warga sipil. Aksi-aksi bersenjata juga dilakukan oleh kelompok paramiliter loyalis – terutama UVF – yg ditujukan terhadap mereka yg dianggap terlibat dalam jaringan IRA, salah satunya adalah aksi pengeboman bar McGurk yg mengakibatkan 15 warga sipil tewas & 17 lainnya luka-luka.

Salah satu peristiwa paling penting dalam dekade 1970-an adalah insiden Bloody Sunday (Minggu Berdarah) yg terjadi pada tanggal 30 Januari 1972 di area Bogside (lagi), Kota Derry. Ada sejumlah versi mengenai apa yg sebenarnya terjadi dalam peristiwa itu, namun versi yg banyak diyakini adalah pihak militer Inggris mendengar bahwa ada sejumlah sniper IRA yg menyamar dalam demonstrasi yg dilakukan NICRA. Kabar tersebut lalu direspon dengan penerjunan pasukan Inggris ke wilayah Bogside, Derry, yg kemudian melepaskan tembakan ke arah kerumuman demonstran sehingga 14 orang tewas tertembak & 13 lainnya terluka. Pihak tentara mengatakan bahwa mereka hanya bereaksi karena diserang lebih dulu oleh demonstran memakai senapan & bom rakitan, namun klaim itu dibantah oleh saksi mata yg mengatakan tak satupun dari demonstran yg ditembak membawa atau menggunakan senjata.
Lepas dari klaim masing-masing pihak, peristiwa Bloody Sunday membawa dampak negatif, baik bagi tentara Inggris maupun perkembangan The Troubles sendiri. Sebelum peristiwa Bloody Sunday, warga Katolik bersikap hangat kepada tentara Inggris karena menganggap mereka sebagai pihak netral yg bisa diandalkan untuk melindungi mereka dari konflik sektarian. Namun usai peristiwa penembakan tersebut, opini mereka berubah di mana mereka kemudian menganggap pihak tentara tidak ada bedanya dengan kelompok paramiliter Ulster & polisi RUC yg semena-mena. Di sisi lain, berubahnya opini warga Katolik terhadap tentara Inggris membuat perkembangan The Troubles semakin rumit karena sesudah peristiwa Bloody Sunday, jumlah orang yg bergabung ke PIRA bertambah banyak. Politikus William Craig bahkan menyatakan bahwa pasca peristiwa ini, cara terbaik untuk meredakan konflik adalah membiarkan wilayah-wilayah di Irlandia Utara yg didominasi Katolik untuk bergabung ke Irlandia.

Irish National Liberation Army (INLA)
Pertengahan 1972, OIRA memutuskan untuk melakukan gencatan senjata. Dua tahun sesudahnya, OIRA terpecah menjadi Partai Pekerja (Worker’s Party) yg dibentuk sebagai upaya oleh sejumlah mantan anggota IRA menggapai tujuannya tanpa jalan kekerasan & Pasukan Pembebasan Nasional Irlandia (Irish National Liberation Army; INLA) yg berisi sisa-sisa anggota OIRA yg memilih tetap melanjutkan aksi-aksi bersenjata. INLA juga memiliki partai politik tersendiri, yaitu Irish Republican Socialist Party (IRSP) di mana keduanya sama-sama berhaluan sosialis Marxis. Di lain pihak, PIRA sempat mengumumkan gencatan senjata pada tahun 1975, namun gencatan senjata tersebut hanya berlangsung selama beberapa bulan & sesudah itu, PIRA kembali memulai aksi bersenjatanya.
Tahun 1973, sempat dilakukan perundingan antara perwakilan Inggris, Irlandia, kaum nasionalis, & kaum unionis. Perundingan itu lalu menghasilkan kesepakatan yg dikenal sebagai Perjanjian Sunningdale. Inti dari Perjanjian Sunningdale adalah membentuk parlemen eksekutif di mana kaum loyalis akan berbagi kekuasaan dengan kaum nasionalis & pembentukan konsul yg diharapkan bisa meningkatkan kerja sama antara Irlandia Utara dengan Republik Irlandia. Perjanjian tersebut didukung oleh sejumlah partai unionis & nasionalis, namun ditolak oleh PIRA yg hanya menginginkan “Irlandia bersatu” sebagai solusi akhir bagi aksi perlawanan mereka. Di lain pihak, kaum unionis & loyalis garis keras juga menolak perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut dianggap terlalu pro-Irlandia & kaum nasionalis.
Perjanjian Sunningdale tidak berumur panjang setelah Brian Faulkner selaku kepala badan eksekutif mengundurkan diri usai partainya, Ulster Unionist Party (UUP), menarik diri dari perjanjian. Mundurnya Faulkner & partainya disebabkan oleh tekanan akibat aksi-aksi kekerasan & sabotase massal di Irlandia Utara oleh Ulster Workers’ Council yg dibentuk dari kelompok pekerja simpatisan loyalis & unionis yg anti Perjanjian Sunningdale. UUP lalu membentuk United Ulster Unionist Council (UUUC) sebagai semacam koalisi dengan partai-partai unionis lain yg menentang Perjanjian Sunningdale untuk mengikuti pemilu beberapa bulan pasca mundurnya Faulkner. Hasilnya, mereka yg menentang Perjanjian Sunningdale berhasil memenangkan suara mayoritas sehingga perjanjian itu pun resmi berakhir sejak pertengahan 1974.
Bulan Mei 1974, terjadi insiden ledakan bom di kota Dublin & Monaghan, Republik Irlandia, yg mengakibatkan tewasnya 33 orang & melukai ratusan orang lainnya. Aksi pengeboman tersebut juga disebut-sebut sebagai aksi pengeboman dalam satu peristiwa yg paling banyak mengakibatkan korban selama The Troubles. Agak ironis mengetahui bahwa insiden yg memakan korban sebesar itu dalam satu peristiwa justru terjadi di luar wilayah konflik yg sebenarnya (baca : Irlandia Utara). Tidak ada yg mengaku bertanggung jawab dalam insiden tersebut sebelum kelompok paramiliter loyalis UVF mengaku pada tahun 1993 bahwa mereka yg melakukan aksi pengeboman tersebut.
Tahun 1979, Inggris dikejutkan oleh kematian 3 figur pentingnya, yaitu Richard Sykes (duta besar Inggris untuk Belanda), Airey Neave (anggota parlemen Partai Konservatif Inggris), & Lord Louis Mountbatten (sepupu Ratu Elizabeth yg juga merupakan veteran Perang Dunia II). Sykes dibunuh oleh anggota PIRA di Den Haag, Neave terbunuh ketika mobil pribadinya diledakkan oleh anggota INLA, sementara Mountbatten tewas bersama 5 anggota keluarganya setelah kapal pesiar pribadi yg mereka naiki meledak di perairan laut dekat Sligo, Irlandia. Selain ketiga figur penting tersebut, jumlah korban tewas dari pihak tentara Inggris & polisi RUC juga terus bertambah akibat aksi-aksi pembunuhan yg sebagian besar dilakukan oleh PIRA.

Dekade 1980-an
Awal dekade 1980 dibuka dengan aksi mogok makan yg dilakukan oleh 7 orang simpatisan republik yg ditahan oleh Inggris di Penjara Maze. Aksi mogok makan tersebut dilakukan sebagai aksi protes terhadap kebijakan Pemerintah Inggris yg menangkap mereka yg diduga sebagai simpatisan republik tanpa proses pengadilan & tindakan kasar petugas penjara terhadap tahanan. Sebelumnya, pada tahun 1976 sekelompok simpatisan republikan yg ditahan di penjara yg sama juga melakukan aksi protes berupa penolakan memakai seragam penjara yg diikuti dengan aksi mengotori dinding penjara dengan kotoran & air seni 2 tahun sesudahnya. Aksi mogok makan yg dilakukan pada tahun 1980 tersebut berlangsung selama 53 hari, yaitu dimulai pada tanggal 27 Oktober & berakhir pada tanggal 18 Desember.
Setahun kemudian, ketika mengetahui bahwa tuntutan para peserta aksi mogok makan pada tahun 1980 tidak dipenuhi, para tahanan simpatisan republik kembali melakukan aksi mogok makan. Berbeda dengan aksi mogok makan sebelumnya, aksi mogok makan pada tahun 1981 dilakukan dengan interval beberapa hari antar pesertanya dengan tujuan untuk menarik perhatian publik lebih besar. Aksi mogok makan dimulai oleh Bobby Sands pada tanggal 1 Maret 1981. Uniknya, saat dia menjalani aksi mogok makan tersebut, ia terpilih sebagai salah satu anggota parlemen di Westminster. Enam puluh enam hari sesudah ia memulai aksi mogok makannya, Bobby Sands akhirnya meninggal akibat kelaparan & prosesi pemakamannya di Belfast dihadiri oleh 100.000 orang lebih. Meninggalnya Sands akibat aksi mogok makan kemudian diikuti oleh kematian kesembilan peserta mogok makan lainnya selama 3 bulan berikutnya.
Sesuai keinginan penggagas & pesertanya, aksi mogok makan yg dilakukan pada tahun 1981 berhasil menarik perhatian masyarakat dunia & menaikkan pamor komunitas nasionalis republik. Beberapa tempat di dunia didirikan atau diberi nama yg mengandung unsur “Bobby sands” sebagai bentuk penghormatan, sementara di wilayah lain aksi-aksi protes mengecam pemerintah Inggris meledak pasca meninggalnya Bobby Sands. Di lain pihak, jumlah pemuda yg bergabung ke dalam kelompok paramiliter PIRA juga meningkat pesat. Hal tersebut mengikuti tren yg terjadi pasca insiden Bloody Sunday pada tahun 1972 di mana semakin banyak yg tertarik untuk bergabung ke PIRA & secara langsung menambah kekuatan bagi mereka untuk terus menjalankan aksi-aksi bersenjata.

Suasana Grand Hotel di Brighton pasca insiden ledakan.
Tanggal 12 Oktober 1984, terjadi aksi pengeboman di Hotel Grand di Brighton, Inggris. Aksi pengeboman tersebut menarik atensi publik begitu besar karena di saat bersamaan, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher sedang berada di sana dalam kongres Partai Konservatif. Tercatat 5 orang terbunuh & 34 lainnya luka-luka, namun Thatcher sendiri selamat dalam aksi pengeboman tersebut. Aksi pengeboman tersebut dianggap sebagai aksi balas dendam PIRA terhadap pemerintah Inggris atas kematian Bobby Sands & simpatisan republikan lainnya dalam aksi mogok makan tahun 1981.
Lima tahun pasca aksi mogok makan tahun 1981, terjadi perpecahan dalam tubuh partai republikan Sinn Fein – partai yg disebut-sebut sebagai sayap politik PIRA. Perpecahan tersebut disebabkan karena sejumlah anggota Sinn Fein berusaha memanfaatkan momentum untuk menggalang dukungan melalui jalan politik pasca aksi mogok makan yg menaikkan pamor kaum nasionalis republik. Upaya tersebut dianggap bertentangan dengan kebijakan Sinn Fein untuk selalu bersikap abstain dalam parlemen di Irlandia sejak Irlandia Utara pertama kali terbentuk. Perbedaan pendapat tersebut membuat Sinn Fein terpecah menjadi 2 di mana pecahannya menamakan diri mereka Republican Sinn Fein. Terpecahnya Sinn Fein juga diikuti dengan munculnya pecahan baru dari kelompok PIRA bernama Continuity Irish Republican Army (CIRA) pada tahun yg sama.
Tahun 1985, Inggris melakukan pembicaraan dengan Irlandia & menghasilkan suatu kesepakatan yg dikenal sebagai Perjanjian Anglo-Irlandia (Anglo-Irish Agreement). Inti dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada Irlandia sebagai penasihat bagi Irlandia Utara untuk menyelesaikan konflik & tidak akan ada perubahan dalam konstitusi Irlandia Utara, kecuali mayoritas dari anggotanya memilih untuk bergabung ke dalam komunitas republik. Namun, perjanjian tersebut juga mendapat penolakan baik dari kaum unionis maupun republik. Kaum unionis menolak perjanjian tersebut karena memberi keleluasaan bagi Irlandia untuk mencampuri kegiatan politik Irlandia Utara, sementara kaum republik – khususnya PIRA – melakukan penolakan karena perjanjian tersebut masih menetapkan Irlandia Utara sebagai bagian dari Inggris. Lepas dari penolakan yg diterima, perjanjian tersebut tetap diimplementasikan oleh Inggris & Irlandia.

Dekade 1990-an & Perjanjian Belfast (1998)
Awal dekade ini ditandai dengan mundurnya Margaret Thatcher dari kursi Perdana Menteri Inggris pada bulan November 1990. Secara keseluruhan, aksi-aksi kekerasan masih terjadi selama dekade 1990-an, namun intensitasnya sedikit lebih menurun dibandingkan dekade-dekade sebelumnya. Aksi-aksi kekerasan yg terjadi mencakup operasi-operasi yg dilakukan oleh tentara keamanan Inggris serta aksi saling bunuh anggota komunitas antara paramiliter nasionalis Irlandia dengan paramiliter loyalis Ulster di mana – ironisnya – korban yg timbul umumnya justru orang-orang sipil dari masing-masing komunitas yg seringkali tidak ada hubungannya dalam konflik.


Suasana pasca pemboman Manchester
Peristiwa kekerasan terbesar dalam dekade ini adalah peristiwa ledakan bom di pusat kota Manchester pada tanggal 15 Juni 1996. Insiden ledakan tersebut begitu diingat karena begitu besarnya dampak kerusakan yg ditimbulkan & korban cedera yg mencapai 200 orang. Ledakan tersebut juga disebut-sebut sebagai ledakan bom terbesar yg menimpa Inggris sejak Perang Dunia II. Sebagai akibatnya, banyak bangunan yg terpaksa dihancurkan & dibangun kembali. Belakangan diketahui bahwa PIRA yg melakukan aksi tersebut. Selain aksi ledakan bom di Manchester, PIRA juga meledakkan bom di London beberapa bulan sebelumnya di awal 1996 yg mengakibatkan kerugian puluhan juta poundsterling & bila ditotal dengan kerusakan dari pemboman Manchester, kerugian yg diderita mencapai setengah milyar poundsterling.
Lepas dari konflik yg masih terus berlanjut, upaya untuk mengakhiri konflik di Irlandia Utara semakin menemukan titik terang. Tahun 1998, pasca pembicaraan panjang yg diadakan sejak beberapa tahun sebelumnya antar partai-partai di Irlandia Utara beserta pemerintah Inggris & Irlandia, Perjanjian Belfast (dikenal juga sebagai Perjanjian Jumat Agung atau “Good Friday Agreement) dirumuskan. Sejumlah poin penting dalam perjanjian ini antara lain Irlandia Utara tetap menjadi bagian dari Inggris kecuali mayoritas rakyatnya berubah pendirian, pendirian komisi HAM di Irlandia Utara, penyusunan sistem pemerintahan di Irlandia Utara yg komposisi anggotanya harus terdiri dari partai loyalis & republik, serta berakhirnya operasi militer Inggris di Irlandia Utara. Dicapainya Perjanjian Belfast juga disebut-sebut sebagai akhir dari The Troubles.
Berbagai perubahan dilakukan sebagai penerapan lanjutan dari Perjanjian Belfast. Salah satu perubahan penting yg dilakukan adalah reformasi dalam tubuh kepolisian RUC (Royal Ulster Constabulary) di mana pada tahun 2001, namanya diubah menjadi Police Service of Northern Ireland (PSNI) yg komposisi anggotanya terdiri dari 50% Katolik & 50% Protestan. Perubahan tersebut dilakukan untuk menghapus citra polisi di Irlandia Utara yg selama ini dianggap diskriminatif & semena-mena terhadap komunitas Katolik & nasionalis serta mengembalikan peran mereka sebagai penjaga ketertiban di Irlandia Utara usai penarikan mundur tentara Inggris.
Menjelang Perjanjian Belfast, kelompok-kelompok paramiliter di Irlandia Utara menghentikan aktivitas bersenjatanya untuk sementara waktu. Usai Perjanjian Belfast disahkan, pelucutan senjata masing-masing kelompok paramiliter dilakukan. Fokus utama dalam upaya pelucutan senjata adalah PIRA mengingat PIRA merupakan kelompok paramiliter terbesar & paling dominan semasa The Troubles berlangsung. Upaya tersebut akhirnya terwujud setelah pada tahun 2005, PIRA dipastikan sudah menghancurkan semua stok persenjataannya dengan disaksikan oleh tim pengawas independen. Setelah pelucutan senjata milik PIRA dilakukan, pelucutan senjata dilakukan kepada kelompok-kelompok paramiliter lain seperti UDA & UVF.

Mural simpatisan CIRA
Kebijakan PIRA untuk mengakhiri kegiatan bersenjatanya ternyata tetap mendapat penolakan dari sejumlah simpatisannya. Oleh karena itu, pada tahun 1998 sejumlah simpatisan PIRA memutuskan untuk membelot & membentuk kelompok paramiliter baru bernama Real IRA (RIRA). RIRA memiliki agenda untuk melanjutkan aktivitas bersenjata yg selama ini dilakukan oleh PIRA. Dalam sejumlah aksinya, mereka diketahui bekerja sama dengan Continuity IRA (CIRA) yg juga merupakan pecahan dari PIRA tahun 1986. Bisa dibilang, tinggal RIRA & CIRA kelompok paramiliter di Irlandia Utara yg masih aktif sampai sekarang.

Penutup
Lepas dari keberadaan kelompok-kelompok paramiliter kecil yg masih aktif hingga sekarang, usai tahun 2000 kondisi di Irlandia Utara sudah jauh lebih kondusif. Irlandia Utara sekarang menjadi salah satu lokasi tujuan investor & wisatawan di Britania Raya. Lukisan-lukisan dinding (mural) yg selama ini menjadi visualisasi perlawanan di Irlandia Utara kini menjadi saksi bisu sekaligus “galeri terbuka” untuk mengenang konflik berkepanjangan tersebut. Sikap terbuka & saling menghargai antar komunitas juga semakin meningkat.
Namun, konflik yg sudah berlangsung selama hampir 30 tahun tersebut tetap saja membawa konsekuensi negatif bagi wilayah setempat. Beberapa di antaranya adalah sikap sentimentil yg masih kerap muncul antara komunitas Katolik dengan Protestan, kasus-kasus pelanggaran HAM di Irlandia Utara selama the Troubles yg masih belum tertangani, korban jiwa & kerugian material akibat konflik, serta tekanan psikologis mendalam bagi masyarakat di Irlandia Utara yg berujung pada tingginya kasus perceraian, kecanduan alkohol, & bunuh diri dalam keluarga. Sekali lagi, ketika perbedaan pandangan & ketidakadilan yg dialami oleh suatu kelompok tidak tertangani dengan baik, maka dalam jangka panjang akibatnya bisa berakibat fatal…

Kamis, 16 September 2010

Citra buruk Indonesia di manfaatkan Malaysia

Teror bom yang didalangi gembong teroris asal Malaysia, Noordin M Top, dinilai menguntungkan Malaysia. Dampak dari maraknya teror bom tersebut seketika mencoreng citra Indonesia, dan kondisi ini dimanfaatkan negeri jiran itu untuk mengambil keuntungan politik dan ekonomi. Pandangan tersebut diperkuat dengan langkah Malaysia akhir-akhir ini, seperti klaim terhadap sejumlah komoditas budaya asli Indonesia, dan dijadikan ikon promosi wisata negeri tetangga tersebut. Untuk itu Pemerintah Indonesia diminta bertindak tegas dalam relasi diplomatik dengan Malaysia, jika memang ada grand design menjatuhkan Indonesia. Pemerintah Malaysia cenderung setengah hati dan tidak serius dalam kerja sama regional dan internasional guna memberantas terorisme. Mereka cenderung mengambil keuntungan dari aksi-aksi teror. Karena kemunduran dalam pariwisata dan perekonomian akibat aksi-aksi teror di Indonesia, memberi pencitraan yang baik bagi Malaysia. Selain setengah hati, Malaysia juga tidak memiliki komitmen penuh terhadap penanggulangan terorisme. Ikatan-ikatan serumpun dan juga persinggungan sebagai kelompok negara ASEAN tidak bisa memberi tekanan bagi Malaysia. Salah satu solusi yang harus dikedepankan Indonesia dalam menengarai persoalan ini adalah meningkatkan kemampuan diplomasi dan terlibat langsung dalam perang opini, jika hal ini tidak cepat diselesaikan, akan muncul ancaman yang serius bagi sektor pariwisata dan beberapa dimensi kehidupan bangsa Indonesia lainnya. Stigma bahwa Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan terorisme juga akan memberi pengaruh pada dunia internasional. Malaysia lebih banyak memanfaatkan situasi yang terjadi di Indonesia ketimbang mendesain sebuah rancangan sistematis untuk Indonesia. Contoh konkret keuntungan yang diperoleh Malaysia dari aksi teror di Indonesia, adalah dibatalkannya laga persahabatan klub sepakbola Manchester United di Jakarta, Juli lalu. Pada akhirnya, Malaysia yang diuntungkan karena rombongan klub tersebut memperpanjang masa tinggalnya di Malaysia dan menyuguhkan pertandingan ekstra bagi publik pecandu bola di negara itu. Malaysia tidak harus  mengorbankan hubungan baik yang telah dibina antara kedua negara, dengan hanya memetik keuntungan sepihak dari tragedi yang terjadi di Indonesia. Apalagi didalangi oleh warga negara Malaysia dan yang tidak kalah seru dari masalah  penindasan tenaga kerja wanita, sengketa perbatasan, pelaku teroris di Indonesia yang warga negara Malaysia, hingga kasus Tari Pendet dan Seni Reog Ponorogo yang diklaim sebagai budaya Malaysia. Artinya, Indonesia sebagai rumah dan pekarangan, harus mempunyai UU keamanan yang kuat. Jika Keamanan, Pertahanan, serta Intelejen diperkuat, akan membuat orang lain berpikir dua kali untuk masuk ke wilayah Indonesia